Minggu, 10 Januari 2010

Minyak untuk Rakyat



Minyak untuk Rakyat

Oktober 25th, 2007

Undang-undang Migas No. 22 tahun 2001 pasal 44 ayat 2 menyatakan dengan tegas bahwa fungsi Badan Pelaksana Migas (BPMIGAS) adalah melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha hulu agar pengambilan sumber daya alam minyak dan gas bumi milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan statement UU tersebut filosofi pengelolaan migas sebenarnya sudah jelas, harus berorientasi pada kemakmuran rakyat. Dengan siapapun BPMIGAS melakukan kontrak kerja sama dalam pengusahaan migas, hasil kerja samanya harus dalam kerangka menciptakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.


Realitanya, keinginan untuk menciptakan sebesar-besar kemakmuran rakyat dari pengambilan sumber daya alam migas cenderung tidak sejalan dengan misi investor yang ingin mendapatkan sebesar-besarnya keuntungan dari pengambilan migas tersebut. Memang wajar, alasan investor menanamkan modalnya di Indonesia atau di negeri manapun adalah untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa perlu pusing memikirkan kemakmuran rakyat setempat. Sesuatu yang rasional, meskipun sangat kapitalistik. Yang tidak wajar adalah ketika Pemerintah cenderung “mengalah” saat berhadapan dengan kekuatan investor, sehingga misi kemakmuran yang harusnya diperjuangkan takluk oleh misi kapitalis investor. Akibatnya, kontrak kerja sama yang seharusnya win-win situation berubah menjadi win-lose situation untuk investor.

Saya coba menggambarkan hubungan antara misi “sebesar-besar kemakmuran rakyat” dan “manfaat kontrak kerja sama migas” tersebut dari sudut pandang masing-masing pihak (Pemerintah & investor) sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar-1. Dari sudut pandang Pemerintah, manfaat kontrak kerja sama yang maksimal ditunjukkan oleh semakin tingginya kemakmuran yang dirasakan dari kontrak tersebut. Sementara dari sudut pandang investor, manfaat kontrak kerja sama dirasakan maksimal jika mereka berhasil mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari kontrak tersebut, yang pada akhirnya bisa mengorbankan aspek kemakmuran rakyat setempat. Titik keseimbangan (win-win situation) bisa terjadi, tatkala Pemerintah tidak “menggadaikan” ataupun “memaksakan” misi sebesar-besar kemakmuran rakyatnya dan investor dapat menekan nafsu kapitalistiknya.



Gambar-1 Hubungan Kemakmuran Rakyat v.s. Manfaat KKS Migas

Prilaku Pemerintah yang cenderung mengalah kepada hegemoni kapitalis dan terkesan “menggadaikan” misi sebesar-besar kemakmuran rakyat ditunjukkan oleh garis merah putus-putus. Prilaku ini tercermin dari kontrak kerja sama yang tidak jelas dan tegas, sehingga memunculkan wilayah abu-abu (grey area) yang bisa merugikan negara dan membuatnya tidak berdaya. Penyelesaian Kasus Lumpur Lapindo yang tidak kunjung selesai menjadi fakta bahwa Pemerintah telah “menggadaikan” misi sebesar-besar kemakmuran rakyat, hanya demi melindungi kepentingan pihak kapitalis yang serakah dan tidak punya hati nurani! Kontrak kerja sama yang seharusnya win-win situation, berubah menjadi lebih berpihak pada kepentingan investor (win-lose situation untuk investor). Prilaku “culas” investor yang “menyandra” lapangan marjinal di wilayah kerjanya dengan alasan tidak ekonomis dan tidak mendapatkan insentif padahal lapangan lainnya sangat ekonomis, masuk dalam fenoma garis merah putus-putus ini. “Kepandaian” investor memanfaatkan celah-celah yang ada dalam Kontrak Kerja Sama untuk kepentingannya, secara tidak disadari sebenarnya telah menggeser kurva win-win situation ke arah kiri menjadi win-lose situation untuk investor.

Apa yang dilakukan oleh Pemerintah Bolivia, Venezuela, dan baru-baru ini Equador, mungkin bisa digambarkan oleh garis coklat putus-putus. Misi Pemerintah untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat diwujudkan dalam bentuk “nasionalisasi” dengan kekuatan “memaksa”, sebuah otoritas yang memang dimiliki oleh Pemerintah, lebih-lebih pemerintah sosialis. Namun sayangnya, langkah seperti ini “sangat ditakuti” oleh investor sehingga kurang menguntungkan negara untuk kepentingan jangka panjang. Situasi ini saya katakan sebagai win-lose untuk Pemerintah.

Saya coba mengutip pandangan Prof. Dr. Ir. Widjajono Partowidagdo, M.Sc., M.A., M.Sor. sehubungan dengan hal di atas:

” BPMIGAS harus mempunyai staf yang mengerti apa yang harus dikerjakannya dan dapat berdiskusi dengan perusahaan yang dikelolanya. Pengelolaan dan pengawasan hanya akan efektif apabila yang melakukannya tidak kalah pintar dari yang dikelola atau diawasi…” (Manajemen dan Ekonomi Minyak dan Gas Bumi, Seri Studi Pembangunan, ITB, 2002).

http://www.id-petroleumwatch.org/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar